Senin, 12 Maret 2012

Hima (Himpunan Mahasiswa) Yang Ideal.



Oleh : Bachtiar Ridho E.

Himpunan Mahasiswa merupakan sebuah organisasi internal universitas yang dibentuk sebagai wadah mahasiswa dalam menyalurkan kreativitas dan bakat baik akademik maupun non akademik maupun sebagai wadah untuk belajar politik melalui jalannya organisasi ini. Himpunan mahasiswa pun juga memiliki tujuan-tujuan yang dibentuk, dari tujuan tersebut muncul yang berupa program kerja sebagai wujud dari tujuan awal. Dalam kinerjanya, Hima sendiri pasti berjalan secara fluktuatif dimana dari keseluruhan program kerja pastia ada yang tidak terealisasi. Tidak terwujudnya beberapa program kerja tersebut dikarenakan banyak hal baik internal dari Hima sendiri maupun dari faktor eksternal. Secara umum koordinasi dan komunikasi merupakan salah satu penyebab tidak maksimalnya bahkan kegagalan dari kinerja Hima.

Ideal merupakan sebuah kata yang bermakna mendekati sempurna atau lebih tepatnya proporsional dan sesuai apa yang diinginkan. Kata ideal juga diartikan sebagai suatu hal yang sederhana atau tidak berlebih-lebihan. Dalam perkembangannya kinerja Hima pasti tidak terlepas dari kendala atau permasalahan yang dihadapi. Akan tetapi kendala tersebut seharusnya bukan menjadi penghalang dari kinerja Hima, tetapi dijadikan sebagai akses utama untuk lebih memperbaiki kekurangan sebelumnya sehingga usaha tersebut menghasilkan suatu bentuk yang maksimal.

Permasalahan yang sangat mendasar saat ini adalah Hima sendiri didalamnya terpecah menjadi kelompok-kelompok dimana hal yang membedakan antar kelompok tersebut adalah latar belakang status dan kesamaan pola pikir yang akhirnya membentuk kelompok pertemanan. Kendala-kendala tersebut dapat sedikit demi sedikit diatasi dengan jalan lebih mendekatkan secara personal antar semua kalangan (penyesuaian) sehingga komunikasi terjalin secara intensif. Selain itu dalam kegiatan-kegiatan Hima alangkah baiknya kita melibatkan dari semua kalangan (dalam artian seluruh mahasiswa) sehingga tidak tercipta kelompok marginal (terpinggirkan) dari aktivitas-aktivitas Hima. Realitasnya yang perlu ditekankan setelah dua hal tersebut adalah profesionalitas dalam Hima. Hal ini bermaksud komitmen yang ditujukan kepada Hima tidak dikotori dengan perbedaan latar belakang maupun aspek lain yang menjadikan kinerja Hima akan terganggu serta akan tumbuh hubungan yang tidak kondusif dari internal Hima. Profesionalitas yang didasari komitmen akan menjadikan kegiatan-kegiatan Hima berorientasi pada project dan hasil yang didapat atas usaha bersama. Dengan mewujudkan hal-hal tersebut kata “ideal” nampaknya akan dapat diraih, karena Hima menjadi proporsional dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh semua mahasiswa dan sesuai dengan realitas Hima yang sesungguhnya.

Moral Ekonomi Petani di Asia Tenggara dan Kondisi Ekonomi di Perbatasan Kalimantan-Malaysia

*Artikel berdasarkan atas dua resensi buku
Dari Entikong Sampai Nunukan (Riwanto Tirtosudarmo dan John Haba) dan Moral Ekonomi Petani (James Scoot).



Asia Tenggara merupakan suatu bagian wilayah dari Benua Asia yang mayoritas negara penghuni kawasan tersebut adalah negara berkembang. Dan kumpulan negara-berkembang Asia Tenggara telah membentuk suatu perkumpulan yaitu ASEAN yang secara resmi berdiri tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. Mayoritas mata pencaharian penduduk Asia Tenggara adalah sebagai petani, dan pekerjaan tersebut telah dimulai sejak nenek moyang manusia hidup. Taraf kehidupan petani secara realitas memang sedikit dibawah kata “sejahtera” karena pekerjaan ini mengandalkan cuaca dan iklim sebagai penentu hasil produksi. Sehingga timbul berbagai problematika kehidupan petani di Asia Tenggara seperti yang terjadi pada masa kolonialisme pada tahun 1930-an dengan perwujudan pemberontakan petani di sebagian besar wilayah Asia Tenggara selama Depresi Besar. Moral ekonomi mempunyai maksud sebagai pandangan petani terhadap ekonomi, dan moral ekonomi pada saat itu memunculkan suatu karakteristik ekonomi petani subsisten.yang berarti “suatu sikap rasa takut akan kelangkaan” sehingga moral petani terbentuk semata hanya memenuhi kebutuhan pribadi atau komunitas. Pengaturan sosial dalm kehidupan petani seperti ini justru membawa mereka di bawah batas kehidupan subsisten. Realitas pada saat itu menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat desa jauh dari kesan harmonis, karena kekuatan yang lebih besar memaksa para “petani miskin dan penyewa” yang berpenghasilan rendah, tanah sedikit dengan keluarga besar mempunyai kesempatan akses yang sempit jika dibandingkan para petani kaya (kaum aristokrat). Masyarakat desa lebih berimplikasi pada relasi sosial egalitarianisme . Kondisi seperti ini memunculkan suatu pemberontakan petani (1930-1931), yang menjadi penyebab utama adalah terjadinya penurunan drastis dari ikatan tradisional antara elit lokal dan petani, hilangnya proteksi, dukungan dan bantuan keuangan dari mereka-mereka yang biasanya saling memberi.

Sementara itu seiring dengan kemerdekaan yang diraih negara-negara berkembang di wilayah Asia Tenggara dan perkembangan modernitas zaman serta teknologi, perkembangan ekonomi di wilayah Asia Tenggara menjadi membaik. Seperti halnya yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia yaitu daerah Entikong (Indonesia) dan Nunukan (Sabah-Malaysia). Meskipun daerah perbatasan merupakan daerah yang rawan ketegangan konflik sosial-politik akan tetapi kehidupan ekonomi di kedua daerah ini sangatlah berkembang mengarah kearah kemajuan. Seiring dengan kemajuan zaman dan semakin berkembangnya lalu lintas perdagangan dan jasa antarnegara yang dimungkinkan juga dengan membaiknya teknologi informasi, memunculkan suatu mitos “dunia tanpa batas” yang menjadi sebuah konstruksi sosial baru. Ketergantungan antarnegara dalam aktivitas ekonomi semakin nyata, yang didukung oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi global (IMF, Bank Dunia, WTO ). Kondisi ekonomi (baca: aktivitas ekonomi) seperti ini secara telak membuat batas-batas geografis negara menjadi kabur.

Dari Unsur Sinkretis ke Islam Modern : Perubahan Pemahaman Agama Masyarakat Kauman Yogyakarta tahun 1900-1950.


*Disadur dari buku Sejarah Kauman oleh Ahmad Adaby Darban.

Pada periode tahun 1900-1950 menjadi periode yang sangat penting bagi kampung Kauman Yogyakarta. Kampung Kauman ini bukanlah satu-satunya yang hanya berada di Indonesia. Tetapi banyak kampung-kampung Kauman lain yang muncul di banyak derah Jawa. Pada umumnya dalam konstruksi masyarakat Jawa, Kauman adalah kampung yang dibentuk di sekitar wilayah Kraton dan alun-alun (tepatnya di sebelah barat) untuk mencerminkan religiusitas Kota atau Kabupaten tersebut dan sebagi hunian para Abdi Dalem Pamethakan beserta keluarganya. Akan tetapi ada suatu pembeda yang membedakan Kauman Yogyakarta dengan Kauman-Kauman lainnya, yaitu bahwa Kauman Yogyakarta merupakan sebuah kampung yang menjadi cikal bakal muncul dan berkembangnya sebuah organisasi Islam yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Dahlan yaitu Muhammadiyah. Sebenarnya di Yogyakarta bukan hanya Kauman yang menjadi titik sentral berkembangnya Muhammadiyah, tetapi ada 3 kampung yang kemudian dikenal dengan 3K yaitu Kauman, Kotagede, dan Karang Kajen. Kota Gede yang dulunya diketahui sebagai ibukota Kerajaan Mataram sebagai kampung yang cukup progres dan cepat dalam menerima pengaruh serta pikiran-pikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Islam yang berdasar pada Al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan Karang Kajen merupakan kampung lain yang juga menerima reformasi Islam ke bentuk aslinya yang juga didapat dari pemikir-pemikir dari Timur Tengah seperti Ibnu Taimiyah, Jamaludin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rosyid Ridlo, dan sebagainya selain K.H. Ahmad Dahlan itu sendiri. Di Karang Kajen juga dimakamkan beberapa pemimpin Muhammadiyah dari periode ke periode seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. A.R. Fakhruddin, dan K.H. Ahmad Azhar Basyir.

Kauman dahulunya merupakan kampung yang memegang tradisi paham Islam tradisional, yang mana Islam tradisional ini berakulturasi dengan animisme dan dinamisme. Islam seperti ini lebih mendekati ke arah bid’ah dan khurafat . Praktik dari Islam tradisional lebih menekankan pada sejumlah upacara-upacara di hari-hari atau waktu tertentu yang dianggap penting dengan menyertakan sesajen dalam setiap upacara. Hal ini tentu tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Islam yang sebenarnya yang tidak mengenal sesajen. Dalam perkembangannya Muhammadiyah tidak berkembang secara mulus dan lurus, ada hambatan dan pertentangan yang menjadi bumbu perkembanganya. Hambatan tersebut berupa sanksi sosial dan pelecehan yang diterima K.H.A. Dahlan serta gangguan fisik dari penguasa tradisional Kraton Yogyakarta yaitu K.K. Pengulu Cholil Kamaludiningrat yang masih memegang paham tradisional dalam Islamnya. Gangguan tersebut berupa perusakan Langgar Kidul K.H.A. Dahlan yang mana tempat tersebut merupakan tempat utama yang digunakan dalam dakwah reformasi Islam yang dilakukan beliau. Akan tetapi dukungan pun juga datang seiring dengan berkembangnya Muhammadiyah, dukungan tersebut datang dari kerabat K.K. Penghulu Muhammad Kamaludiningrat yang menggantikan K.K. Penghulu Cholil Kamaludiningrat sebagai petinggi Masjid Besar Kraton Yogyakarta.

Perubahan yang tampak dari berkembangnya Muhammadiyah ini tidak hanya dari bidang keagamaannya tetapi juga dari bidang lainya seperti, bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kepemimpinan dan kewanitaan. Perubahan dalam bidang keagamaan adalah berubahnya paham Islam tradisional yang sinkretis dengan kepercayaan pra-Islam kepada kehidupan beragama Islam yang murni, bersumber pada Al-Qur’an dan as-sunnah. Selain itu adanya perubahan terhadap ketergantungan umat dalam memahami ajaran Islam denga ber-taqlid kepada para ulama berubah pada kebebasan mempelajari kitab suci Al-Qur’an dan as-sunnah dan menjalankan ijtihad .