Senin, 12 Maret 2012

Moral Ekonomi Petani di Asia Tenggara dan Kondisi Ekonomi di Perbatasan Kalimantan-Malaysia

*Artikel berdasarkan atas dua resensi buku
Dari Entikong Sampai Nunukan (Riwanto Tirtosudarmo dan John Haba) dan Moral Ekonomi Petani (James Scoot).



Asia Tenggara merupakan suatu bagian wilayah dari Benua Asia yang mayoritas negara penghuni kawasan tersebut adalah negara berkembang. Dan kumpulan negara-berkembang Asia Tenggara telah membentuk suatu perkumpulan yaitu ASEAN yang secara resmi berdiri tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. Mayoritas mata pencaharian penduduk Asia Tenggara adalah sebagai petani, dan pekerjaan tersebut telah dimulai sejak nenek moyang manusia hidup. Taraf kehidupan petani secara realitas memang sedikit dibawah kata “sejahtera” karena pekerjaan ini mengandalkan cuaca dan iklim sebagai penentu hasil produksi. Sehingga timbul berbagai problematika kehidupan petani di Asia Tenggara seperti yang terjadi pada masa kolonialisme pada tahun 1930-an dengan perwujudan pemberontakan petani di sebagian besar wilayah Asia Tenggara selama Depresi Besar. Moral ekonomi mempunyai maksud sebagai pandangan petani terhadap ekonomi, dan moral ekonomi pada saat itu memunculkan suatu karakteristik ekonomi petani subsisten.yang berarti “suatu sikap rasa takut akan kelangkaan” sehingga moral petani terbentuk semata hanya memenuhi kebutuhan pribadi atau komunitas. Pengaturan sosial dalm kehidupan petani seperti ini justru membawa mereka di bawah batas kehidupan subsisten. Realitas pada saat itu menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat desa jauh dari kesan harmonis, karena kekuatan yang lebih besar memaksa para “petani miskin dan penyewa” yang berpenghasilan rendah, tanah sedikit dengan keluarga besar mempunyai kesempatan akses yang sempit jika dibandingkan para petani kaya (kaum aristokrat). Masyarakat desa lebih berimplikasi pada relasi sosial egalitarianisme . Kondisi seperti ini memunculkan suatu pemberontakan petani (1930-1931), yang menjadi penyebab utama adalah terjadinya penurunan drastis dari ikatan tradisional antara elit lokal dan petani, hilangnya proteksi, dukungan dan bantuan keuangan dari mereka-mereka yang biasanya saling memberi.

Sementara itu seiring dengan kemerdekaan yang diraih negara-negara berkembang di wilayah Asia Tenggara dan perkembangan modernitas zaman serta teknologi, perkembangan ekonomi di wilayah Asia Tenggara menjadi membaik. Seperti halnya yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia yaitu daerah Entikong (Indonesia) dan Nunukan (Sabah-Malaysia). Meskipun daerah perbatasan merupakan daerah yang rawan ketegangan konflik sosial-politik akan tetapi kehidupan ekonomi di kedua daerah ini sangatlah berkembang mengarah kearah kemajuan. Seiring dengan kemajuan zaman dan semakin berkembangnya lalu lintas perdagangan dan jasa antarnegara yang dimungkinkan juga dengan membaiknya teknologi informasi, memunculkan suatu mitos “dunia tanpa batas” yang menjadi sebuah konstruksi sosial baru. Ketergantungan antarnegara dalam aktivitas ekonomi semakin nyata, yang didukung oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi global (IMF, Bank Dunia, WTO ). Kondisi ekonomi (baca: aktivitas ekonomi) seperti ini secara telak membuat batas-batas geografis negara menjadi kabur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar