Oleh :
Bachtiar Ridho E.
Bachtiar Ridho E.
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
Dalam
sebuah konstruksi sosial masyarakat terdapat interaksi sosial di dalamnya,
sebagai penghubung antar elemen-elemen masyarakat. Interaksi ini pun dapat
berdampak positif maupun negatif dalam perkembangannya. Apabila dua unsur (yang
melakukan interaksi) ini tidak ada yang merasa dirugikan, interaksi ini
berdampak positif. Akan tetapi apabila terdapat ketimpangan dalam hubungan ini
(salah satu pihak dirugikan) maka untuk selanjutnya ini akan dapat memicu
konflik sosial. Konflik sosial yang secara bertahap berkembang dan lebih
mengarah ke tindakan-tindakan anarkis maka hal ini dapat disimpulkan menjadi
suatu tindakan kriminalitas. Kriminalitas di Jawa lebih cenderung merupakan suatu tindakan yang akrab dilakukan
oleh masyarakat kecil ataupun masyarakat minoritas dalam struktur masyarakat
Jawa. Sebagai suatu resistensi sosial
atas adanya ketidakadilan atas kebijakan dengan yang mereka terima membuat
kriminalitas ini merupakan pilihan yang harus mereka lakukan. Penulisan ini
memberikan batasan spasial dan temporal dikarenakan menyesuaikan
sumber yang kita dapatkan, selain itu agar mendapatkan suatu fokus dalam
penulisan ini. Batasan spasialnya yaitu provinsi Jawa Timur dan dengan temporal
tahun 1972-1973.
Dari sumber yang kita ketahui bahwa
kriminalitas di Jawa Timur ini diperkirakan sudah mulai muncul sebelum tahun
1972, karena pada tahun 1972 Gubernur Jawa Timur baru memerintahkan pencatatan
kriminalitas dengan daftar tabel yang ditetapkan, sehingga pada tahun 1972 ini
proses administrasi yang jelas baru mulai diberlakukan. Laporan tersebut
ditujukan kepada para pembantu Gubernur dan para Bupati atau Walikota Kabupaten
atau Kotamadya. Dari surat perintah tersebut digharapkan bahwa laporan-laporan
mengenai adanya kriminalitas di daerah-daerah tersebut hendaknya dilaporkan
setiap bulan. Dengan adanya surat perintah ini bukan berarti tindakan
administrasi pencatatan kriminalitas di Jawa Timur ini baru dilakukan oleh
tiap-tiap daerah. Berdasarkan sumber dapat diketahui bahwa terdapat beberapa
daerah yang sudah melakukan pencatatan akan tetapi tidak berdasarkan tabel
sesuai permintaan dari Gubernur melainkan dengan cara tersendiri. Berdasarkan
tabel yang dilampirkan dalam surat perintah pencatatan kriminalitas dari
gubernur dapa diketahui terdapat beberapa jenis tindakan kriminalitas antara
lain, perampokan, pembegalan, pencurian kawat tilpun, pencurian hewan,
pencurian kayu jati, pencurian kendaraan bermotor, pemerasan, penganiayaan,
zina atau perkosaan, pembunuhan, perjudian, kebakaran, gangguan terhadap PNP.
Gula, gangguan terhadap PNKA, gangguan subversi, bunuh diri, dan lain-lain.[1]
Dari beberapa sumber arsip dapat
diketahui bahwa beberapa daerah-daerah di Jawa Timur ini tidak menghiraukan
dari adanya himbauan Gubernur untuk
melakukan pencatatan kriminalitas. Dari sekian banyak kabupaten maupun
kotamadya, kabupaten maupun kotamadya yang berada di pulau Madura merupakan
daerah-daerah yang sangat memperhatikan himbauan ini dan menjadi daerah yang
tertib administrasi atas perintah pencatatan kriminalitas ini. Adapun
daerah-daerah tersebut antara lain Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.[2]
Perkembangan kriminalitas di Jawa Timur ini (khususnya Madura) menunjukkan
perkembangan yang fluktuatif, sedangkan pada tahun 1973 berdasarkan data
menunjukkan persentase tinggi dari kriminalitas di Madura yang pada tahun 1972
total tindak kriminalitas sejumlah 457, pada tahun 1973 total berjumlah 2063
tindak kriminalitas.[3]
Dapat diketahui pula jumlah jenis kejahatan tertinggi pada periode Januari-Juni
1972 di Madura berdasarkan data adalah pencurian kawat tilpun dengan jumlah
185, pencurian barang-barang di posisi kedua dengan jumlah 137 tindakan.
Selain itu, total tindakan krimiunal
di Kabupaten Bangkalan tahun 1973 tercatat sejumlah 1774, dengan kecelakaan lau
lintas tertinggi (1095). Di Kabupaten
Sampang di tahun yang sama tercatat total 388, dengan kecelakaan menjadi nomor
satu dengan jumlah (164). Adapun di Kab. Pamekasan dan Sumenep berturut-turut
di tahun yang sama yaitu 837 dan 595, dengan jumlah tertinggi kecelakaan 400
(Pamekasan) dan pencurian barang-barang 350 (Sumenep).
Berdasarkan data-data diatas
bagaimana menunjukkan bahwa tingginya resistensi sosial dari masyarakat. Hal
ini mungkin dilakukan sebagai upaya eksistensi diri yang dilakukan oleh
masyarakat agar diakui keberadaannya. Pengakuan atas keberadaan mereka oleh
pihak lain akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan sosial bagi mereka.
Seperti halnya masyarakat Madura, rekaman historis menunjukkan bahwa mereka
telah menunjukkan perlawanan atau pemberontakan terhadap pemerintah maupun
masyarakat lain. Memang hal tersebut dapat dianggap sebuah tindakan kekerasan
yang mengarah kepada kriminalitas, tetapi apabila dipandang dari sisi mereka
hal tersebut merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan apa yang mereka
miliki.
DAFTAR
PUSTAKA
Arsip Provinsi Jawa Timur, Surat
Perintah Gubernur Kepala Daerah Propuinsi Djawa Timur, 18 Djuli 1972, kepada
Para Pembantu Gubernur dan Para Bupati/Walikota di Djawa Timur perihal
pencatatan adanya kriminalitas di daerah.
Arsip
Provinsi Jawa Timur, Daftar Rekapitulasi Kriminalitas se-Madura tahun 1973,
Puditsus Madura.
[1]
Lampiran Tabel dari Surat Perintah Gubernur Kepala Daerah Propuinsi Djawa
Timur, 18 Djuli 1972, kepada Para Pembantu Gubernur dan Para Bupati/Walikota di
Djawa Timur perihal pencatatan adanya kriminalitas di daerah. (sumber Arsip
Provinsi Jawa Timur)
[2]
Daftar Rekapitulasi Kriminalitas se-Madura tahun 1973. (sumber Arsip Provinsi
Jawa Timur)
[3]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar