Kamis, 01 November 2012

Kriminalitas di Jawa Timur Tahun 1972-1973

Oleh    :
Bachtiar Ridho E.
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga

Dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat terdapat interaksi sosial di dalamnya, sebagai penghubung antar elemen-elemen masyarakat. Interaksi ini pun dapat berdampak positif maupun negatif dalam perkembangannya. Apabila dua unsur (yang melakukan interaksi) ini tidak ada yang merasa dirugikan, interaksi ini berdampak positif. Akan tetapi apabila terdapat ketimpangan dalam hubungan ini (salah satu pihak dirugikan) maka untuk selanjutnya ini akan dapat memicu konflik sosial. Konflik sosial yang secara bertahap berkembang dan lebih mengarah ke tindakan-tindakan anarkis maka hal ini dapat disimpulkan menjadi suatu tindakan kriminalitas. Kriminalitas  di Jawa lebih cenderung  merupakan suatu tindakan yang akrab dilakukan oleh masyarakat kecil ataupun masyarakat minoritas dalam struktur masyarakat Jawa. Sebagai suatu  resistensi sosial atas adanya ketidakadilan atas kebijakan dengan yang mereka terima membuat kriminalitas ini merupakan pilihan yang harus mereka lakukan. Penulisan ini memberikan batasan spasial dan temporal dikarenakan menyesuaikan sumber yang kita dapatkan, selain itu agar mendapatkan suatu fokus dalam penulisan ini. Batasan spasialnya yaitu provinsi Jawa Timur dan dengan temporal tahun 1972-1973.
            Dari sumber yang kita ketahui bahwa kriminalitas di Jawa Timur ini diperkirakan sudah mulai muncul sebelum tahun 1972, karena pada tahun 1972 Gubernur Jawa Timur baru memerintahkan pencatatan kriminalitas dengan daftar tabel yang ditetapkan, sehingga pada tahun 1972 ini proses administrasi yang jelas baru mulai diberlakukan. Laporan tersebut ditujukan kepada para pembantu Gubernur dan para Bupati atau Walikota Kabupaten atau Kotamadya. Dari surat perintah tersebut digharapkan bahwa laporan-laporan mengenai adanya kriminalitas di daerah-daerah tersebut hendaknya dilaporkan setiap bulan. Dengan adanya surat perintah ini bukan berarti tindakan administrasi pencatatan kriminalitas di Jawa Timur ini baru dilakukan oleh tiap-tiap daerah. Berdasarkan sumber dapat diketahui bahwa terdapat beberapa daerah yang sudah melakukan pencatatan akan tetapi tidak berdasarkan tabel sesuai permintaan dari Gubernur melainkan dengan cara tersendiri. Berdasarkan tabel yang dilampirkan dalam surat perintah pencatatan kriminalitas dari gubernur dapa diketahui terdapat beberapa jenis tindakan kriminalitas antara lain, perampokan, pembegalan, pencurian kawat tilpun, pencurian hewan, pencurian kayu jati, pencurian kendaraan bermotor, pemerasan, penganiayaan, zina atau perkosaan, pembunuhan, perjudian, kebakaran, gangguan terhadap PNP. Gula, gangguan terhadap PNKA, gangguan subversi, bunuh diri, dan lain-lain.[1]
            Dari beberapa sumber arsip dapat diketahui bahwa beberapa daerah-daerah di Jawa Timur ini tidak menghiraukan dari adanya himbauan  Gubernur untuk melakukan pencatatan kriminalitas. Dari sekian banyak kabupaten maupun kotamadya, kabupaten maupun kotamadya yang berada di pulau Madura merupakan daerah-daerah yang sangat memperhatikan himbauan ini dan menjadi daerah yang tertib administrasi atas perintah pencatatan kriminalitas ini. Adapun daerah-daerah tersebut antara lain Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.[2] Perkembangan kriminalitas di Jawa Timur ini (khususnya Madura) menunjukkan perkembangan yang fluktuatif, sedangkan pada tahun 1973 berdasarkan data menunjukkan persentase tinggi dari kriminalitas di Madura yang pada tahun 1972 total tindak kriminalitas sejumlah 457, pada tahun 1973 total berjumlah 2063 tindak kriminalitas.[3] Dapat diketahui pula jumlah jenis kejahatan tertinggi pada periode Januari-Juni 1972 di Madura berdasarkan data adalah pencurian kawat tilpun dengan jumlah 185, pencurian barang-barang di posisi kedua dengan jumlah 137 tindakan.
            Selain itu, total tindakan krimiunal di Kabupaten Bangkalan tahun 1973 tercatat sejumlah 1774, dengan kecelakaan lau lintas tertinggi (1095). Di  Kabupaten Sampang di tahun yang sama tercatat total 388, dengan kecelakaan menjadi nomor satu dengan jumlah  (164).  Adapun di Kab. Pamekasan dan Sumenep berturut-turut di tahun yang sama yaitu 837 dan 595, dengan jumlah tertinggi kecelakaan 400 (Pamekasan) dan pencurian barang-barang 350 (Sumenep).
            Berdasarkan data-data diatas bagaimana menunjukkan bahwa tingginya resistensi sosial dari masyarakat. Hal ini mungkin dilakukan sebagai upaya eksistensi diri yang dilakukan oleh masyarakat agar diakui keberadaannya. Pengakuan atas keberadaan mereka oleh pihak lain akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan sosial bagi mereka. Seperti halnya masyarakat Madura, rekaman historis menunjukkan bahwa mereka telah menunjukkan perlawanan atau pemberontakan terhadap pemerintah maupun masyarakat lain. Memang hal tersebut dapat dianggap sebuah tindakan kekerasan yang mengarah kepada kriminalitas, tetapi apabila dipandang dari sisi mereka hal tersebut merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan apa yang mereka miliki.




DAFTAR PUSTAKA
            Arsip Provinsi Jawa Timur, Surat Perintah Gubernur Kepala Daerah Propuinsi Djawa Timur, 18 Djuli 1972, kepada Para Pembantu Gubernur dan Para Bupati/Walikota di Djawa Timur perihal pencatatan adanya kriminalitas di daerah.
            Arsip Provinsi Jawa Timur, Daftar Rekapitulasi Kriminalitas se-Madura tahun 1973, Puditsus Madura.



[1] Lampiran Tabel dari Surat Perintah Gubernur Kepala Daerah Propuinsi Djawa Timur, 18 Djuli 1972, kepada Para Pembantu Gubernur dan Para Bupati/Walikota di Djawa Timur perihal pencatatan adanya kriminalitas di daerah. (sumber Arsip Provinsi Jawa Timur)
[2] Daftar Rekapitulasi Kriminalitas se-Madura tahun 1973. (sumber Arsip Provinsi Jawa Timur)
[3] Ibid.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar