Kamis, 01 November 2012

Sejarah Separatisme Melayu di Thailand Selatan


Mata Kuliah Sejarah Asia Tenggara (Review Buku Separatism in Southern Thailand oleh Thanet Aphornsuvan)
Oleh :
Bachtiar Ridho E. (121014046)

            Faktor dari kemunculan suatu kelompok separatis di wilayah Thailand Selatan adalah adanya multikulturalisme di segala bidang baik etnis maupun agama serta dipicu oleh kesenjangan sosial-ekonomi , tata pemerintahan yang buruk, dan keluhan-keluhan politik. Tercatat hingga Januari 2004 gerakan ini telah menewaskan hampir 1.900 orang. Latar belakang munculnya gerakan ini adalah diawali dengan sebuah peristiwa pada Januari 2004 gerilyawan menyerang sebuah barak tentara di Narathiwat Province, menewaskan empat tentara dan mencuri lebih dari 400 senjata. Gerilyawan juga membakar 20 sekolah di daerah itu, pos polisi diserang, dan beberapa bom diledakkan. Serangan ini menandai awal dari yang terbaru, dan paling keras dari fase pemberontakan Thailand Selatan. Konflik itu kini telah merenggut hampir 1.900 nyawa dan tanpa diragukan lagi menimbulkan tantangan paling serius bagi stabilitas internal Thailand.
            Sebelumnya pada tahun 2000, muncul sentimen separatis di Thailand Selatan. Penyebabnya Melayu-Muslim merasa terpinggirkan oleh politik Bangkok, dan merasa bahwa identitas etnis, budaya, dan agama berada di bawah ancaman dari negara Thailand yang didominasi Buddha. Populasi mereka merasa dijauhkan dari peluang sosial-ekonomi dan pendidikan yang diberikan ke bagian lain negara itu. Yala, Narathiwat, dan Pattani antara beberapa provinsi termiskin di Thailand, dengan tingginya jumlah pengangguran laki-laki muda Muslim. Standar pendidikan rendah, yang berarti bahwa beberapa Melayu-Muslim bisa lulus ujian masuk untuk posisi pemerintah, termasuk polisi setempat. Posisi-posisi yang selalu diambil oleh warga Thailand dari luar daerah yang tidak berbicara bahasa lokal atau memahami adat istiadat budaya. Ini melahirkan frustrasi dan kebencian di antara penduduk setempat. Pemberontakan ini dapat disimpulkan merupakan pergesekan diantara dua sisi yaitu Thai-Buddha dengan Melayu-Muslim.
            Diduga pemberontakan kelompok separatis ini merupakan suatu bentuk peran dari Islam radikal dan diduga pula adanya keterlibatan kelompok Islam garis keras di luar seperti Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Fase-fase pemberontakan tampaknya telah diinkubasi di sekolah-sekolah agama di Thailand Selatan itu pada tahun 1990-an. Ketika pemerintah Thailand ditawarkan amnesti selimut pada tahun 1984 dan 1993 minoritas menolak tawaran ini, sekolah-sekolah memberikan mereka sebuah forum untuk mengajar pemuda Melayu-Muslim tentang nasionalisme Pattani dan ketidakadilan yang dilakukan oleh negara Thailand. Guru-guru ini mengilhami generasi baru untuk menentang otoritas Thailand. Pada tahun 2000, siswa mereka di akhir umur belasan atau awal dua puluhan siap untuk bertempur, 2001-2003 menyaksikan kenaikan bertahap dalam skala kecil serangan terhadap simbol negara Thailand, dengan eskalasi besar kekerasan di awal Januari 2004. Meskipun banyak kelompok yang terlibat dan tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas kekerasan itu, ada konsensus umum di kalangan praktisi keamanan di Thailand bahwa dua kelompok bertanggung jawab untuk sebagian besar serangan. Kelompok pertama adalah Barisan Revolusi Nasional-Koordinasi (BRN-C) dan sayap bersenjatanya Runda Kumpulan Kecil (RKK). Kelompok kedua yang lebih kecil adalah Gerakan Mujahidin Islami Pattani (GMIP). Kedua kelompok dikatakan bertemu secara teratur untuk mengkoordinasikan serangan di tiga propinsi. Ketika kekerasan besar meletus pada Januari 2004, pemerintahan Thaksin tidak bisa lagi mengabaikan masalah dan segera mengadopsi respon militer-keamanan garis keras. Bangkok menyatakan darurat militer di Thailand Selatan, dan mengirim 10.000 tentara untuk bergabung dengan 20.000 yang sudah ditempatkan di sana. Selama tahun 2004 berat tangan respon pemerintah menghasilkan dua kekejaman utama. Pada 28 April sekelompok militan muda bersenjatakan parang menyerang polisi dan pos militer di Pattani, dan kemudian berlindung di masjid Krue Se. Pada akhir hari, 108 militan dan lima personel keamanan terbaring mati. Insiden kedua terjadi pada 25 Oktober di kota Tak Bai, Narathiwat Province. Tentara menembaki pemrotes yang mengepung kantor polisi lokal dan kemudian menggiring ratusan dari mereka ke dalam truk tentara sempit untuk dibawa ke sebuah kamp militer selama lima jam berkendara. Selama perjalanan 78 laki-laki mati lemas akibat sesak dalam kendaraan. Komisi pemerintah menyelidiki Se Krue dan Tak Bai dan menyimpulkan bahwa kekerasan yang berlebihan telah digunakan, dan bahwa mereka yang bertanggung jawab harus diadili. Namun, sampai saat ini, belum ada yang dituntut, dan komandan Tak Bai dipindah operasikan dari daerah itu. Pada bulan Maret 2005, sebagai tanggapan atas tekanan domestik dan internasional menyusul Insiden Tak Bai, Thaksin menunjuk Komisi Rekonsiliasi Nasional (NRC) untuk menemukan resolusi damai untuk konflik. NRC terdiri dari praktisi keamanan, politisi, dan tokoh masyarakat dan agama, menyampaikan laporannya pada bulan Juni 2006 setelah melakukan konsultasi yang luas di tiga provinsi selatan. Rekomendasinya meliputi antara lain, kebutuhan untuk ketidakadilan masa lalu yang benar, mendorong partisipasi yang lebih besar dengan Melayu-Muslim di badan pengambil keputusan, dan memungkinkan penggunaan dialek lokal sebagai bahasa kerja oleh pejabat pemerintah. Pada titik ini, Thaksin sibuk dengan krisis politik yang akhirnya menyebabkan kejatuhannya, dan pada dasarnya mengabaikan rekomendasi laporan itu. Dalam upaya lain untuk mencapai perdamaian, pemerintah Thaksin memberi anggukan untuk pembicaraan rahasia dengan para pemimpin, mengasingkan diri dari organisasi separatis yang sudah aktif dari tahun 1960 sampai akhir 1980-an, seperti Pattani Serikat Organisasi Pembebasan (PULO), Barisan Revolusi Nasional (BRN), dan Bersatu. Pembicaraan, yang berlangsung di Langkawi, Malaysia pada 2005-2006 dan yang ditengahi oleh mantan Menteri PM Malaysia Mahathir Mohamad, menghasilkan rencana aksi yang tidak jelas. Yang jelas untuk beberapa analisis itu, bagaimanapun pasukan keamanan Thailand menerima, adalah bahwa para pemimpin kelompok-kelompok ini diasingkan maka tidak memiliki pengaruh sama sekali atau kontrol terhadap militan di tanah. Dengan demikian, perundingan itu gagal (karena tidak menunjukkan suatu tujuan yang mulia dalam menyelesaikan masalah).

Upacara Tradisional Suran di Desa Ngliman Kab. Nganjuk


Oleh    :
Bachtiar Ridho E.
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga

Upacara Tradisional Suran dalam Sejarah

Upacara tradisional ini muncul di daerah terpencil di lereng Gunung Wilis tepatnya di Desa Ngliman, Kabupaten Nganjuk. Upacara tradisional Suran ini berintikan pensucian terhadap benda-benda pusaka, pembagian air suci, dan ziarah makam Kyai Ngliman. Saat ini upacara ini masih bertahan di desa tersebut akan tetapi terdapat sedikit perbedaan atau perubahan dari struktur upacara karena pergeseran budaya dalam periode sebagai suatu dampak dari pembangunan.

Prosesi Upacara Tradisional Suran

            Upacara ini terdiri dari beberapa tahap, akan tetapi sebelum masuk ke upacara inti, jauh-jauh hari sebelumnya dilaksanakan beberapa upacara yang merupakan upacara pendahuluan dan upacara pendahuluan ini dilakukan sampai 3 kali.  Adapun urutan upacara antara lain :
1.      Dilaksanakan pada tanggal 25 bulan Ruwah yang dinamakan upacara bukak Pundhen. Pada upacara ini seluruh masyarakat mengadakan selamatan bersama. Di masing-masing Dukuh dilaksanakan di rumah Kamituwo masing-masing. Setelah selesai selamatan biasanya diteruskan dengan acara hiburan dan permainan anak-anak.

2.      Upacara kedua ini dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal, sesaat setelah shalat Idul Fitri, yaitu dengan mengadakan selamatan di Masjid Ngliman. Adapun perlengkapan selamatan ini adalah : 2 wadah berkat/takir makanan, satu wadah berisi nasi kuning dan telur dadar  dan satu wadah nasi ditambah kue-kue. Setelah selamatan selesai dilanjutkan dengan saling berma’af-ma’afan, kemudian saling berkunjung antar tetangga.

3.      Upacara yang ketiga dilaksanakan pada bulan Suro, dimana upacara ini merupakan puncak dari rangkaian upacara-upacara sebelumnya. Pelaksanaannya ditetapkan diantara 3 macam hari, yaitu : Jum’at Legi, Jum’at Wage, atau Senin Wage. Pemilihan tersebut didasarkan pada anggapan mana yang lebih baik, atau letaknya berdekatan dengan pertengahan bulan Suro (Bulan Purnama). Setelah hari baik terpilih dilanjutkan dengan selamatan bersama di kediaman Kepala Desa Ngliman, dengan perlengkapan antara lain nasi gurih dan ayam ingkung. Setelah itu dilaksanakan siraman (penyucian) benda-benda pusaka yang berbentuk pedang, pisau dan wayang kayu.

Setelah acara memandikan benda-benda pusaka selesai, dilanjutkan pembagian air suci dari dalam kendi pusaka yang sehari sebelumnya diisi air dari Sedudo. Pembagian air ini dilakukan di makam Kyai Ngliman yang dilakukan oleh sesepuh desa dengan didampingi juru kunci makam. Dalam prosesi ini warga saling berebut air suci walaupun hanya setetes, bahkan menyentuh kendi saja sudah puas. Warga beranggapan bahwa banyaknya air yang kita dapatkan itu sebagai gambaran banyaknya rejeki atau anugerah yang kita dapatkan di kemudian hari.

Setelah prosesi pembagian air suci, selanjutnya adalah ziarah ke makam Kyai Ngliman secara perorangan. Akan tetapi untuk kesempurnaan ziarah ke Makam Kyai Ngliman kita diwajibkan untuk mensucikan diri di Air Terjun Sedudo.

Maksud dan Tujuan Serta Pelaku dan Masyarakat Pendukung dari Tradisi Suran

Tradisi Upacara Suran ini merupakan suatu tradisi akulturasi antara budaya Islam dengan budaya animisme dan dinamisme. Yang mana tradisi ini mempunyai suatu maksud bahwa upacara ini sebagai sarana perkumpulan seluruh warga di lingkup Ngliman maupun Nganjuk dan sekitarnya. Dimana lewat tradisi seperti ini komunikasi dan silaturrahmi dapat terjalin antar elemen masyarakat di tiap desa. Sekaligus tradisi ini mempunyai tujuan sebagai suatu bentuk pelestarian tradisi dan budaya masyarakat serta sebagai suatu sarana transformasi budaya luhur dari para sesepuh terhadap generasi muda.

            Pelaku daripada tradisi Suran ini adalah secara khusus masyarakat Desa Ngliman dan secara umum yaitu masyarakat Nganjuk dan sekitarnya dengan dipandu para pemimpin adat atau sesepuh desa. Masyarakat pendukung tradisi ini yaitu masyarakat Desan Ngliman dengan beberapa Dukuh dalam lingkup Desa Ngliman.

Alat-Alat (Benda Pusaka) Yang Dipakai Saat Upacara

·         Kendi Pusaka              : tingginya sekitar kurang lebih 25cm. Diisi dengan air dari Air Terjun
                                           Sedudo

·         Senjata Pusaka            : berjumlah 4 buah masing-masing bernama Kyai Srabat, Kyai Endel
                                           dan Kyai Kembar. Berbentuk seperti pedang tetapi bagian
                                           pangkalnya membengkok seperti kapak.

·         Wayang Kayu             : disebut juga sebagai wayang klitik atau wayang krucil, berjumlah 3
                                           buah dan terbuat dari kayu jati. Wayang tersebut diberi nama Eyang
                                           Bondan, Eyang Jokotruno dan Eyang Betik. Semua wayang
                                           disimpan di gedhong pusoko di utara masjid Ngliman.

Daftar Pustaka :

Harimintadji, Drs. 1995. Nganjuk dan Sejarahnya. Keluarga : Nganjuk.

Kriminalitas di Jawa Timur Tahun 1972-1973

Oleh    :
Bachtiar Ridho E.
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga

Dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat terdapat interaksi sosial di dalamnya, sebagai penghubung antar elemen-elemen masyarakat. Interaksi ini pun dapat berdampak positif maupun negatif dalam perkembangannya. Apabila dua unsur (yang melakukan interaksi) ini tidak ada yang merasa dirugikan, interaksi ini berdampak positif. Akan tetapi apabila terdapat ketimpangan dalam hubungan ini (salah satu pihak dirugikan) maka untuk selanjutnya ini akan dapat memicu konflik sosial. Konflik sosial yang secara bertahap berkembang dan lebih mengarah ke tindakan-tindakan anarkis maka hal ini dapat disimpulkan menjadi suatu tindakan kriminalitas. Kriminalitas  di Jawa lebih cenderung  merupakan suatu tindakan yang akrab dilakukan oleh masyarakat kecil ataupun masyarakat minoritas dalam struktur masyarakat Jawa. Sebagai suatu  resistensi sosial atas adanya ketidakadilan atas kebijakan dengan yang mereka terima membuat kriminalitas ini merupakan pilihan yang harus mereka lakukan. Penulisan ini memberikan batasan spasial dan temporal dikarenakan menyesuaikan sumber yang kita dapatkan, selain itu agar mendapatkan suatu fokus dalam penulisan ini. Batasan spasialnya yaitu provinsi Jawa Timur dan dengan temporal tahun 1972-1973.
            Dari sumber yang kita ketahui bahwa kriminalitas di Jawa Timur ini diperkirakan sudah mulai muncul sebelum tahun 1972, karena pada tahun 1972 Gubernur Jawa Timur baru memerintahkan pencatatan kriminalitas dengan daftar tabel yang ditetapkan, sehingga pada tahun 1972 ini proses administrasi yang jelas baru mulai diberlakukan. Laporan tersebut ditujukan kepada para pembantu Gubernur dan para Bupati atau Walikota Kabupaten atau Kotamadya. Dari surat perintah tersebut digharapkan bahwa laporan-laporan mengenai adanya kriminalitas di daerah-daerah tersebut hendaknya dilaporkan setiap bulan. Dengan adanya surat perintah ini bukan berarti tindakan administrasi pencatatan kriminalitas di Jawa Timur ini baru dilakukan oleh tiap-tiap daerah. Berdasarkan sumber dapat diketahui bahwa terdapat beberapa daerah yang sudah melakukan pencatatan akan tetapi tidak berdasarkan tabel sesuai permintaan dari Gubernur melainkan dengan cara tersendiri. Berdasarkan tabel yang dilampirkan dalam surat perintah pencatatan kriminalitas dari gubernur dapa diketahui terdapat beberapa jenis tindakan kriminalitas antara lain, perampokan, pembegalan, pencurian kawat tilpun, pencurian hewan, pencurian kayu jati, pencurian kendaraan bermotor, pemerasan, penganiayaan, zina atau perkosaan, pembunuhan, perjudian, kebakaran, gangguan terhadap PNP. Gula, gangguan terhadap PNKA, gangguan subversi, bunuh diri, dan lain-lain.[1]
            Dari beberapa sumber arsip dapat diketahui bahwa beberapa daerah-daerah di Jawa Timur ini tidak menghiraukan dari adanya himbauan  Gubernur untuk melakukan pencatatan kriminalitas. Dari sekian banyak kabupaten maupun kotamadya, kabupaten maupun kotamadya yang berada di pulau Madura merupakan daerah-daerah yang sangat memperhatikan himbauan ini dan menjadi daerah yang tertib administrasi atas perintah pencatatan kriminalitas ini. Adapun daerah-daerah tersebut antara lain Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.[2] Perkembangan kriminalitas di Jawa Timur ini (khususnya Madura) menunjukkan perkembangan yang fluktuatif, sedangkan pada tahun 1973 berdasarkan data menunjukkan persentase tinggi dari kriminalitas di Madura yang pada tahun 1972 total tindak kriminalitas sejumlah 457, pada tahun 1973 total berjumlah 2063 tindak kriminalitas.[3] Dapat diketahui pula jumlah jenis kejahatan tertinggi pada periode Januari-Juni 1972 di Madura berdasarkan data adalah pencurian kawat tilpun dengan jumlah 185, pencurian barang-barang di posisi kedua dengan jumlah 137 tindakan.
            Selain itu, total tindakan krimiunal di Kabupaten Bangkalan tahun 1973 tercatat sejumlah 1774, dengan kecelakaan lau lintas tertinggi (1095). Di  Kabupaten Sampang di tahun yang sama tercatat total 388, dengan kecelakaan menjadi nomor satu dengan jumlah  (164).  Adapun di Kab. Pamekasan dan Sumenep berturut-turut di tahun yang sama yaitu 837 dan 595, dengan jumlah tertinggi kecelakaan 400 (Pamekasan) dan pencurian barang-barang 350 (Sumenep).
            Berdasarkan data-data diatas bagaimana menunjukkan bahwa tingginya resistensi sosial dari masyarakat. Hal ini mungkin dilakukan sebagai upaya eksistensi diri yang dilakukan oleh masyarakat agar diakui keberadaannya. Pengakuan atas keberadaan mereka oleh pihak lain akan berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan sosial bagi mereka. Seperti halnya masyarakat Madura, rekaman historis menunjukkan bahwa mereka telah menunjukkan perlawanan atau pemberontakan terhadap pemerintah maupun masyarakat lain. Memang hal tersebut dapat dianggap sebuah tindakan kekerasan yang mengarah kepada kriminalitas, tetapi apabila dipandang dari sisi mereka hal tersebut merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan apa yang mereka miliki.




DAFTAR PUSTAKA
            Arsip Provinsi Jawa Timur, Surat Perintah Gubernur Kepala Daerah Propuinsi Djawa Timur, 18 Djuli 1972, kepada Para Pembantu Gubernur dan Para Bupati/Walikota di Djawa Timur perihal pencatatan adanya kriminalitas di daerah.
            Arsip Provinsi Jawa Timur, Daftar Rekapitulasi Kriminalitas se-Madura tahun 1973, Puditsus Madura.



[1] Lampiran Tabel dari Surat Perintah Gubernur Kepala Daerah Propuinsi Djawa Timur, 18 Djuli 1972, kepada Para Pembantu Gubernur dan Para Bupati/Walikota di Djawa Timur perihal pencatatan adanya kriminalitas di daerah. (sumber Arsip Provinsi Jawa Timur)
[2] Daftar Rekapitulasi Kriminalitas se-Madura tahun 1973. (sumber Arsip Provinsi Jawa Timur)
[3] Ibid.



Korupsi Dalam Perspektif Sejarah : Kultur Perkembangannya dan Solusi Penyelesaiannya

Oleh : Bachtiar Ridho E.
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga 

I. Pendahuluan

Korupsi saat ini telah menjadi sarapan pagi di setiap berita yang dimuat media, baik media massa maupun elektronik. Seakan semua telah sibuk dengan urusan pemberantasan (atau hanya mengulas saja) tentang korupsi. Sejatinya pembicaraan intensif tentang korupsi akhir-akhir ini hanyalah omong kosong belaka, diskusi ini hanyalah sekedar menghakimi pelaku korupsi tanpa berakhir dengan suatu solusi tentang bagaimana perilaku korupsi ini dapat dihentikan. Korupsi dapat didefinisikan sebagai suatu sikap untuk berusaha memiliki harta kekayaan material yang bukan miliknya dalam jumlah yang cukup besar. Di negara kita Indonesia korupsi merupakan suatu tindak pidana yang membudaya, hal ini dikuatkan dengan bukti bahwa Indonesia berada di peringkat ke-3 negara ter-korup di Asia pada tahun 2005 berdasarkan survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Bagaimana suatu tindak korupsi itu dapat terjadi, kalau dilihat dari kultur budaya korupsi serta segi sejarah pendukungnya korupsi ini telah muncul di Indonesia sejak abad XVII-XVIII dimana pada masa Kerajaan Hindu-Budha berkembang di Nusantara. Akan tetapi terdapat sumber yang mengatakan bahwa benih korupsi sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad SAW yaitu di abad 4-5 M.

II. Korupsi Dalam Perspektif Sejarah

Korupsi didefinisikan sebagai sesuatu yang rusak atau hancur berdasarkan bahasa Latin corruptus yang berarti sesuatu yang rusak atau hancur. Sejarah berpendapat bahwa embrio korupsi telah muncul pada abad ke 17-18 M di Nusantara (Indonesia). Pada saat itu kultur Hindu-Budha yang sedang berkembang di Nusantara. Setelah itu berkembang pada abad ke 19-20, yang mana periode ini merupakan periode Islam dan kolonialisasi berkembang di Nusantara. Dalam periode ini merupakan suatu periode waktu terpenting dalam menggali perkembangan kultur korupsi. Feodalisme merupakan suatu konsep gagasan yang berkembang pada masa kolonialisme dan merupakan cikal bakal model kultural korupsi yang sekarang terjadi di negara kita. Setelah itu kultur korupsi berkembang pada masa revolusi Indonesia, dimana periode Orde Baru adalah periode korupsi nasional dalam skala besar. Setelah kekuasaan Orde Baru runtuh, periode Reformasi muncul sebagai suatu konsep yang muncul berdasarkan suara rakyat. Akan tetapi lagi-lagi budaya korupsi telah merasuk lama di dalam sanubari bangsa, sehingga kultur negatif tersebut semakin berkembang dan lebih memantapkan posisinya sebagai budaya bangsa (baca: masyarakat atas). Akan tetapi semakin pemerintah mengimbangi perkembangan korupsi ini dengan beberapa alternatif antara lain dengan membuat sebuah lembaga resmi untuk mengungkap kasus-asus korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lagi-lagi sebuah usaha mulia tetap tidak membuahkan hasil, terungkapnya beberapa kasus korupsi justru tidak membuat efek jera pada pelaku-pelaku lainnya, korupsi kian menggila dan negara semakin dipusingkan dengan hanya urusan kasus korupsi saja sehingga menimbulkan suatu ketimpangan dalam proses pemerintahan dan pembangunan bangsa.

III. Perkembangan Korupsi Dalam Periode

1) Periode Rasulullah Nabi Muhammad SAW
Menjelaskan korupsi pada masa awal atau pada masa Nabi sangatlah sulit untuk melakukan suatu penelusuran, sumber primer yang digunakan adalah Alqur’an dan Hadist Nabi.Oleh karena itu penjelasan tentang mulai munculnya sikap korupsi hanya merupakan dugaan-dugaan awal berdasarkan sumber dengan segala perbandingan serta mengkomparasikan dengan sumber lain yang terkait seperti buku dan lain sebagainya. Suatu peristiwa berdasarkan pada Surah Ali Imran ayat 161 menyatakan bahwa pada perang Uhud yang terjadi pada tahun ke-3 H Nabi dan pasukannya berperang dan Nabi mempunyai suatu strategi dengan menempatkan pasukan pemanah pada posisi diatas bukit di belakang pasukan Rasulullah lain dan pasukan pemanah itu bertugas melindungi pasukan Rasulullah dari serangan pasukan Musyrikin dari arah belakang. Pada awalnya pasukan Rasulullah meraih kemenangan, melihat suatu kemenangan pasukan pemanah pergi meninggalkan posnya untuk mengambil harta rampasan dari musuh. Akan tetapi hal itu justru menjdi boomerang yang berakibat kekalahan pada pasukan Rasulullah. Dari suatu peristiwa tersebut dapat diketahui bahwa benih korupsi sudah muncul sejak zaman Nabi. Korupsi di peristiwa ini hampir memiliki arti sama dengan pencurian, akan tetapi pembeda korupsi dengan pencurian adalah korupsi lebih terorganisir dengan baik dengan lebih secara terang diketahui beberapa orang (dalam artian mereka pun juga terlibat) sedangkan pencurian hanya dilakukan secara sembunyi dan mengandalkan nasib untuk bersembunyi dari perlakuannya.

2) Korupsi Pada Masa Hindu-Budha
Pada masa kerajaan Hindu-Budha berkembang di Nusantara (baca: Indonesia) korupsi tidak dikenal oleh masyarakat pada masa itu. Tidak adanya bukti-bukti tentang adanya pencurian besar-besaran dari lingkup istana dan sebagainya semakin menguatkan bahwa kultur korupsi memang tidak berkembang pada masa ini. Dengan adanya sistem kasta pada praktek masyarakat Hindu membuat budaya negatif seperti korupsi tidak akan mungkin dulakukan karena sanksi social yang sangat berat menjadi bayang-bayang bagi pelaku nantinya apabila telah terbukti mencuri ataupun korupsi. Di kehidupan Budha pun hanya dikenal istilah “yang baik dan yang buruk” saja yang membuat suatu batasan terhadap kehidupan sesorang dan sebagai suatu aturan dalam menuju hajat hidup yang baik. Sehingga sudah jelaslah bahwa kehidupan manusia pada masa ini sangat kaku akan keteraturan hidup.

3) Korupsi Pada Masa Perkembangan Islam
Kultur korupsi pada masa perkembangan kerajaan Islam mulai muncul kembali. Disini karena adanya pengaruh dari sistem feodal yang membuat para raja membuat suatu kebijakan upeti yang dibebankan pada masyarakat. Upeti ini sebagai wujud konkret dari praktek korupsi oleh para penguasa kerajaan. Akan tetapi tidak semua kebijakan tersebut dilakukan oleh para raja. Bentuk lain adalah dengan kegiatan serupa korupsi lain, yaitu dengan melakukan perkawinan politik. Dengan perkawinan politik ini para raja bisa menguasai kerajaan lain secara halus. Mungkin budaya tersebut tidak bisa dirasakan oleh rakyat sebagai suatu pelanggaran sosial. Karena mereka hanyalah rakyat yang dipimpin oleh raja, dan raja dalam masa itu diartikan sebagai Waliyullah atau wali Allah. Sehingga secara kontekstual rakyat akan menuruti segala perintah raja.

4) Masa Kolonialisme
Masa-masa ini merupakan masa keterpurukan bagi bangsa Indonesia, selain karena penjajahan dari bangsa-bangsa Eropa dan bangsa Asia (Jepang) masa ini merupakan masa perampasan semua hak bangsa. Kultur korupsi di masa ini akan mudah sekali berkembang, karena kultur feodalisme yang dikembangkan pada masa ini memang menjadi suatu support utama dalam perkembangan benih korupsi. Seperti yang kita kenal suatu peristiwa korupsi pada masa ini yang merupakan suatu boomerang bagi penjajah adalah korupsi yang dilakukan oleh para pegawai VOC, yang pada akhirnya menimbulkan kebangkrutan pada tubuh VOC yang berdampak juga terhadap pemasukan Kerajaan Belanda, sehingga pada tanggal tahun 1796 Heeren XVII dibubarkan dan diganti oleh suatu komite baru dan sesudah itu pada tangggal 1 Januari 1800 VOC resmi dibubarkan. Kehancuran VOC tersebut membuktikan bahwa dahsyatnya dampak korupsi itu sendiri bagi suatu bangsa penjajah sekalipun.

5) Korupsi Pada Era Revolusi dan Reformasi
Kharisma dalam diri sosok Ir. Soekarno sebagai penyambung lidah rakyat telah menyuarakan bahwa pemerintahan Soekarno merupakan pemerintahan terbaik. Dalam hal ini periode revolusi merupakan periode pembangunan jati diri bangsa, sehingga menjadi hal yang mustahil suatu konsep “korupsi” bernaung dalam masa ini. Akan tetapi seiring dengan gejolak-gejolak dan isu-isu politik dalam rangka penurunan Soekarno dan berkuasanya Soeharto, Orde Baru menjadi suatu konsep waktu penting bagaimana dampak korupsi yang maha dahsyat ini terjadi pada masa ini. Peristiwa Mei 1998 menjadi suatu bentuk adanya gejolak dari rakyat akan ketidaknyamanan dengan tumbuhnya korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintahan. Setelah itu mulailah perbaikan disegala bidang sehingga krisis moneter sebagai dampak dari korupsi dan menurunnya nilai mata uang sedikit demi sedikit mulai hilang dari pikiran bangsa. Akan tetapi lagi-lagi istilah budaya korupsi telah menjadi do’a yang diijabahi oleh Tuhan, sehingga korupsi ini memang benar-benar telah membudaya di alam pikiran bangsa Indonesia. Terlebih penegakan hukum di Indonesia dinilai tidak banyak mengurangi praktek-praktek korupsi dan justru lebih memompa dan menjadikan para pelaku berlomba-lomba untuk memakan uang rakyat dengan cara korupsi.

6) Kesimpulan dan Solusi Pemberantasan
Dari beberapa sumber tentang perkembangan korupsi, dapat dikatakan di Indonesia dari zaman ke zaman perkembangan korupsi memang berkembang fluktuatif. Akan tetapi dapat dipetik suatu pernyataan bahwa korupsi merupakan kepanjangan tangan dari sistem feodal dari kolonialisme. Dan korupsi merupakan suatu borok bangsa yang sulit disembuhkan hanya dengan penegakan hukum yang dinilai kurang tegas. Adapun solusi alternatif yang ditawarkan dalam penanggulangan korupsi menurut Kwik Kian Gie adalah dengan cara bertahap. Kesejahteraan yang layak tetap diberikan pada level elit di instansi pemerintah, sehingga asumsinya tidak akan terjadi korupsi di level atas. Sementara aparat pada level bawah, ”dibiarkan” untuk melakukan korupsi pada level kecil, yang secara nominal tidak terlalu signifikan. Namun secara bertahap, setelah kemampuan keuangan memungkinkan, maka kesejahteraan aparat di tingkat bawah juga harus ditingkatkan. Untuk mengawal pendekatan ini, maka reward and punishment harus tetap ditegakkan.


DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press. 

Badrika, Drs. I Wayan. 1999. Sejarah Nasional Indonesia Dan Umum. Jakarta : Erlangga. 

Lembaga Administrasi Negara : Pusat Kajian Administrasi Nasional. 2007. Strategi Penanganan 

Korupsi di Negara Asia Pasifik. Hermenia : Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 4 No. 1 Januari-Juni 2005 106-131.

http://kem.ami.or.id/2012/03/jihad-melawan-korupsi/ diakses pada : 30 Maret 2012 pukul 22.15. 

http://bacabaca.posterous.com/pembangunan-jalan-yang-beraspalkan-darah-dan diakses pada : 30 Maret 2012 pukul 22.15.

Senin, 12 Maret 2012

Hima (Himpunan Mahasiswa) Yang Ideal.



Oleh : Bachtiar Ridho E.

Himpunan Mahasiswa merupakan sebuah organisasi internal universitas yang dibentuk sebagai wadah mahasiswa dalam menyalurkan kreativitas dan bakat baik akademik maupun non akademik maupun sebagai wadah untuk belajar politik melalui jalannya organisasi ini. Himpunan mahasiswa pun juga memiliki tujuan-tujuan yang dibentuk, dari tujuan tersebut muncul yang berupa program kerja sebagai wujud dari tujuan awal. Dalam kinerjanya, Hima sendiri pasti berjalan secara fluktuatif dimana dari keseluruhan program kerja pastia ada yang tidak terealisasi. Tidak terwujudnya beberapa program kerja tersebut dikarenakan banyak hal baik internal dari Hima sendiri maupun dari faktor eksternal. Secara umum koordinasi dan komunikasi merupakan salah satu penyebab tidak maksimalnya bahkan kegagalan dari kinerja Hima.

Ideal merupakan sebuah kata yang bermakna mendekati sempurna atau lebih tepatnya proporsional dan sesuai apa yang diinginkan. Kata ideal juga diartikan sebagai suatu hal yang sederhana atau tidak berlebih-lebihan. Dalam perkembangannya kinerja Hima pasti tidak terlepas dari kendala atau permasalahan yang dihadapi. Akan tetapi kendala tersebut seharusnya bukan menjadi penghalang dari kinerja Hima, tetapi dijadikan sebagai akses utama untuk lebih memperbaiki kekurangan sebelumnya sehingga usaha tersebut menghasilkan suatu bentuk yang maksimal.

Permasalahan yang sangat mendasar saat ini adalah Hima sendiri didalamnya terpecah menjadi kelompok-kelompok dimana hal yang membedakan antar kelompok tersebut adalah latar belakang status dan kesamaan pola pikir yang akhirnya membentuk kelompok pertemanan. Kendala-kendala tersebut dapat sedikit demi sedikit diatasi dengan jalan lebih mendekatkan secara personal antar semua kalangan (penyesuaian) sehingga komunikasi terjalin secara intensif. Selain itu dalam kegiatan-kegiatan Hima alangkah baiknya kita melibatkan dari semua kalangan (dalam artian seluruh mahasiswa) sehingga tidak tercipta kelompok marginal (terpinggirkan) dari aktivitas-aktivitas Hima. Realitasnya yang perlu ditekankan setelah dua hal tersebut adalah profesionalitas dalam Hima. Hal ini bermaksud komitmen yang ditujukan kepada Hima tidak dikotori dengan perbedaan latar belakang maupun aspek lain yang menjadikan kinerja Hima akan terganggu serta akan tumbuh hubungan yang tidak kondusif dari internal Hima. Profesionalitas yang didasari komitmen akan menjadikan kegiatan-kegiatan Hima berorientasi pada project dan hasil yang didapat atas usaha bersama. Dengan mewujudkan hal-hal tersebut kata “ideal” nampaknya akan dapat diraih, karena Hima menjadi proporsional dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh semua mahasiswa dan sesuai dengan realitas Hima yang sesungguhnya.

Moral Ekonomi Petani di Asia Tenggara dan Kondisi Ekonomi di Perbatasan Kalimantan-Malaysia

*Artikel berdasarkan atas dua resensi buku
Dari Entikong Sampai Nunukan (Riwanto Tirtosudarmo dan John Haba) dan Moral Ekonomi Petani (James Scoot).



Asia Tenggara merupakan suatu bagian wilayah dari Benua Asia yang mayoritas negara penghuni kawasan tersebut adalah negara berkembang. Dan kumpulan negara-berkembang Asia Tenggara telah membentuk suatu perkumpulan yaitu ASEAN yang secara resmi berdiri tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. Mayoritas mata pencaharian penduduk Asia Tenggara adalah sebagai petani, dan pekerjaan tersebut telah dimulai sejak nenek moyang manusia hidup. Taraf kehidupan petani secara realitas memang sedikit dibawah kata “sejahtera” karena pekerjaan ini mengandalkan cuaca dan iklim sebagai penentu hasil produksi. Sehingga timbul berbagai problematika kehidupan petani di Asia Tenggara seperti yang terjadi pada masa kolonialisme pada tahun 1930-an dengan perwujudan pemberontakan petani di sebagian besar wilayah Asia Tenggara selama Depresi Besar. Moral ekonomi mempunyai maksud sebagai pandangan petani terhadap ekonomi, dan moral ekonomi pada saat itu memunculkan suatu karakteristik ekonomi petani subsisten.yang berarti “suatu sikap rasa takut akan kelangkaan” sehingga moral petani terbentuk semata hanya memenuhi kebutuhan pribadi atau komunitas. Pengaturan sosial dalm kehidupan petani seperti ini justru membawa mereka di bawah batas kehidupan subsisten. Realitas pada saat itu menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat desa jauh dari kesan harmonis, karena kekuatan yang lebih besar memaksa para “petani miskin dan penyewa” yang berpenghasilan rendah, tanah sedikit dengan keluarga besar mempunyai kesempatan akses yang sempit jika dibandingkan para petani kaya (kaum aristokrat). Masyarakat desa lebih berimplikasi pada relasi sosial egalitarianisme . Kondisi seperti ini memunculkan suatu pemberontakan petani (1930-1931), yang menjadi penyebab utama adalah terjadinya penurunan drastis dari ikatan tradisional antara elit lokal dan petani, hilangnya proteksi, dukungan dan bantuan keuangan dari mereka-mereka yang biasanya saling memberi.

Sementara itu seiring dengan kemerdekaan yang diraih negara-negara berkembang di wilayah Asia Tenggara dan perkembangan modernitas zaman serta teknologi, perkembangan ekonomi di wilayah Asia Tenggara menjadi membaik. Seperti halnya yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia yaitu daerah Entikong (Indonesia) dan Nunukan (Sabah-Malaysia). Meskipun daerah perbatasan merupakan daerah yang rawan ketegangan konflik sosial-politik akan tetapi kehidupan ekonomi di kedua daerah ini sangatlah berkembang mengarah kearah kemajuan. Seiring dengan kemajuan zaman dan semakin berkembangnya lalu lintas perdagangan dan jasa antarnegara yang dimungkinkan juga dengan membaiknya teknologi informasi, memunculkan suatu mitos “dunia tanpa batas” yang menjadi sebuah konstruksi sosial baru. Ketergantungan antarnegara dalam aktivitas ekonomi semakin nyata, yang didukung oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi global (IMF, Bank Dunia, WTO ). Kondisi ekonomi (baca: aktivitas ekonomi) seperti ini secara telak membuat batas-batas geografis negara menjadi kabur.